Di Indonesia banyak
kita temukan kearifan lokal dan falsafah hidup yang cukup arif diberbagai
daerah. Namun jika kita ukur kualitas kearifan tersebut dari tingkat interaksi
kemasyarakatan dalam arti menyeluruh, maka ada dua daerah yang tingkat
wisdomnya cukup tinggi yaitu di Kajang, Bulukumba (SULSEL) dan di Banggai,
Sulawesi Tengah. Kalau di Kajang, Bulukumba kita mengetahui seleksi seseorang
untuk menjadi Amatoa begitu ketat dan panjang juga falsafah Amatoa benar-benar
sangat mempengaruhi pola dan corak hidup masyarakat Kajang. Hingga tingkat
wisdom seseorang (Amatoa) dapat mempengaruhi seluruh interaksi kehidupan
masyarakat Kajang. Baik dari sisi hukum, kemasyarakatan, ekonomi, sosial budaya
dan sebagainya benar-benar mengacu pada falsafah Amatoa yang terkenal tingkat
wisdomnya amat tinggi.[1]
Begitupun di
Banggai Sulawesi Tengah, Falsafah Tuu-Tu pernah hidup dan bertahan 400 tahun
lamanya yang sampai saat ini kita masih mendapati jejaknya. Tuu-Tu dalam arti
harpia adalah kepala Negara, Raja, Kaisar, Sultan, Tomundo, Mumbu dan
sebagainya yang mengacu pada kepemimpinan puncak sebuah negara. Di Banggai
tempo dulu yang lebih dikenal dengan Tano Bolukan (Zaman Kerajaan) Tuu-Tu
adalah penamaan lain dari Raja, Tomundo atau Mumbu. Semuanya mengacu pada
pengertian pimpinan tertinggi (orang nomor satu) atau kepala Negara pada zaman
itu.
Namun menarik
dikaji bahwa Tuu-Tu tidak sekedar mengacu pada jabatan yang disandang seseorang
sebagai kepala negara atau raja. Jika kita membaca Babad Banggai yaitu sejak
tahun 1571, dimana Maulana Prins Mandapar untuk pertama kali membentuk sistem
pemerintahan modern yang demokratis sampai pada tahun 1959, ketika raja
Syukuran Amir menyerahkan kedaulatan pada NKRI, berturut-turut selama kurang
lebih empat abad lamanya raja-raja yang memerintah di Tano Bolukan dengan
jumlah berkisar 20-30 orang berturut-turut menduduki tahta Tano Bolukan namun
tidak semua dari orang-orang tersebut bergelar Tuu–Tu. Jadi Tuu–Tu tidak saja
mengacu pada jabatan tapi juga adalah gelar yang diberikan masyarakat, bahkan
Tuu–Tu adalah anugerah alam pada seseorang yang tingkat keberanian, ketabahan,
ilmu, keyakinan, kebijaksanaan dan karisma yang tidak diragukan lagi (manusia paripurna).
Namun ternyata
Tuu–Tu tidak saja sekedar gelar dan ukuran tingkat wisdom (kebijaksanaan)
seorang pemimpin. Dari hasil penelitian dan pengamatan yang cukup panjang,
ternyata Tuu–Tu adalah sebuah falsafah hidup yang bertahan cukup lama di Tano
Bolukan. Bahkan lebih dari itu Tuu–Tu adalah sebuah falsafah hidup yang
benar-benar telah dipraktekan dalam kehidupan keseharian mulai dari orang nomor
satu di Tano Bolukan (Raja/Kepala Negara). Seluruh petinggi Negara bahkan
sampai pada rakyat kebanyakan. Falsafah Tuu–Tu mewarnai seluruh gerak kehidupan
masyarakat Tano Bolukan mulai dari kehidupan beragama, hukum, ekonomi, sosial
kemasyarakatan, budaya sampai pada tata cara perang, ekspansi dan ideologisasi
armada perang. Dapat dikatakan bahwa falsafah Tuu–Tu telah menjadi landasan
pijak dimana segala gerak kehidupan bermula.
Jika kita
bandingkan dengan falsafah-falsafah besar yang pernah hadir dan menjadi arus
utama penggerak umat manusia dibelahan dunia, sebut saja Ahimsa (melawan tanpa
kekerasan) yang dibangun Mahatma Gandhi di India. Dalai Lama di Tibet, Sun-zu di
China dan berbagai belahan dunia lainnya. Falsafah Tuu–Tu memang tidak sempat
mendunia walaupun ada. Ketenaran falsafah Tuu–Tu mulai redup sepeninggal Tuu–Tu
Abdul Aziz (1900). Hal ini bisa terjadi karena budaya Tuu–Tu adalah hal yang
mendominasi kehidupan keseharian, sehingga tidak ada bahasa jelas yang bisa
menjaga kelestarian budaya Tuu–Tu tersebut. Mungkin ini salah satu kelemahan
dari falsafah Tuu–Tu karena tidak adanya bahasa teks yang bisa mengabadikan
falsafah tersebut pada generasi berikutnya.
Namun setiap
falsafah besar yang mewarnai peradaban umat manusia, disamping sisi unggul ada
juga sisi lemahnya. Walaupun falsafah besar tersebut derevasi dari kebenaran
wahyu yang absolut. Ahimsa oleh Mahatma Ghandi, Ajaran Tauhid dan spiritual
yang mendominasi Iran oleh Ayatullah Khomeni, Sun-zu, Dalai Lama dan
sebagainya. Kearifan dan falsafah besar yang mereka bawah kadang memudar
setelah tokoh utamanya tiada. Sublimasi kearah masyarakat banyak bisa juga kita
temukan dan cukup bertahan beberapa saat namun atmosfir gerak dan daya dorong
tidak sekuat ketika tokoh pengusung falsafah tersebut masih ada. Sehingga
kearifan Sun-zu, Ghandi, Dalai Lama, Ayatullah kadang tinggal menjadi referensi
yang bisa kita temukan dalam bahasa-bahasa teks (buku).
Lalu bagaiamana
dengan falsafah Tuu-Tu yang terpendam 400 tahun lamanya di Tano Bolukan? Dari
arti harfia seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa Tuu-Tu adalah kepala
Negara, raja, kaisar, tomundo, baginda dan segalah sesuatu yang mengacu pada
kepemimpinan puncak (orang nomor satu) pada sebuah Negara atau Kerajaan. Dalam
arti lain yang lebih dalam Tuu-Tu adalah orang yang betul-betul-betul
atau orang yang benar-benar-benar. Jadi artinya Tuu-Tu disamping
predikat kepala negara/raja juga mengacu pada kepribadian paripurna yang
integritasnya tidak diragukan lagi.
Selanjutnya dari
posisi integritas/karakter falsafah
Tuu-Tu telah terderevasi menjadi sebuah gerak kolosal yang mewarnai
seluruh aspek kehidupan masyarakat Tano Bolukan. Mulai dari orang nomor satu
(raja) sampai pada rakyat kebanyakan. Dan akhirnya menggerakkan seluruh piranti
masyarakat Tano Bolukan mulai dari penegakan hukum, penerapan syariat,
penerapan jual beli, adat istiadat, tata pemerintahan dan sebagainya terwarnai
dari falsafah Tuu-Tu.
Ketika falsafah
Tuu-Tu telah mewarnai seluruh gerak dan aktivitas kehidupan masyarakat Tano
Bolukan, maka falsafah tersebut telah menghujam pada keseharian setiap orang.
Falsafah Tuu-Tu telah menjadi karakter dasar dan tindakan keseharian yang
melampaui tataran teori dan jargon. Ketika falsafah Tuu-Tu telah menjadi
karakter dasar, maka falsafah tersebut bukan lagi pada tataran simbol, ideologi
atau ajaran seperti pancasila tapi telah menjadi sebuah bahasa tindakan.
Tuu-Tu adalah orang
yang betul-betul atau benar-benar. Ini dimulai dari orang nomor satu (kepala
negara) kemudian turun sampai beberapa tingkat kebawah di kalangan abdi negara.
Dalam tata negara Tano Bolukan (Banggai) setelah raja, para penasehat raja,
panglima perang, menteri-menteri dan dewan kerajaan, ada pada peringkat keempat
setelah raja yang dinamakan Mian Tuu yang sampai hari ini kita masih menemukan
di beberapa tempat, yaitu :
-
Mian Tuu Liang di Liang.
-
Mian Tuu Basaan di Bangkurung
-
Mian Tuu Palabatu di Lolantang.
-
Mian Tuu Lipu Adino di Liang.
Adapun arti dari
Mian Tuu ini adalah orang benar atau orang yang tabiatnya terpuji (terpercaya).
Dalam tradisi Tano Bolukan, jika Mian Tuu ini sedang berada dalam perjalanan
(menjalankan tugas negara). Jika mereka sedang menyeberang dan kehabisan bekal
lalu mendapatkan bubu atau sero (jenis alat tangkap ikan), Mian Tuu tersebut
langsung bisa mengambil ikan di dalamnya walau tanpa terlebih dahulu meminta
atau memberitahukan pada yang empunya. Begitupun jika Mian Tuu sedang berada di
perkebunan masyarakat dia dapat langsung memetik/mengambil tanaman yang ada
tanpa meminta dan memberitahu.
Tradisi ini ada dan
bisa dipraktekkan karena yang empunya bubu/sero atau kebun begitu yakin bahwa
Mian Tuu yang mengambil miliknya adalah orang benar/terpercaya yang sedang
menjalankan tugas negara namun kehabisan bekal dalam perjalanan. Yang empunya
bubu/sero atau kebun hanya melihat jika ada tanda khusus yang ditinggalkan
(kode) dari Mian Tuu maka orang tersebut sudah sangat bersyukur karena ia telah
turut membantu memperlancar tugas–tugas negara.
Bagaimana hal ini
bisa terjadi? Seseorang yang diambil hak miliknya tanpa diminta dan diberi tahu
malah balik bersyukur. Ini adalah salah satu piranti unggul dari falsafah
Tuu-Tu yang telah dipraktekkkan selama berabad abad di Tano Bolukan. Orang yang
empunya kebun/bubu yakin dan percaya bahwa
Mian Tuu yang sedang menjalankan tugas negara hanya mengambil seperlunya
yang ia butuhkan untuk melanjutkan perjalanan. Tidak berlebihan dan tidak
merusak, bahkan setelah memberikan kode khusus bahwa yang mengambil ikan atau
makanan dikebun itu adalah Mian Tuu langsung di doakan ke Temeneno (Allah SWT)
agar yang empunya barang tersebut mendapatkan rahmat dan rezeki. Luar biasa,
sebuah interaksi sosial yang mungkin di zaman ini hanya mitos dan
dongeng.
Itu baru dalam
konteks Mian Tuu (orang benar), telah terjadi hubungan saling percaya,
apresiatif dan partisipatif. Bagaimana dengan Tuu-Tu (orang betul – betul –
betul/orang benar – benar – benar) jika melakukan interaksi sosial dengan
masyarakat yang dipimpinnya? Sudah pasti sangat dahsyat. Tuu-Tu adalah gelar
tidak dipilih atau mencalonkan diri, tapi proses menjadi Tuu-Tu adalah
mengalami seleksi alam dan kemasyarakatan yang sangat ketat dan lama. Sudah
pasti posisinya dimasyarakat akan benar-benar sangat dipercaya. Tuu-Tu
mencintai masyarakatnya, bukan Cuma masyarakat tapi alam sekitarnya
seperti hewan dan tumbuhan, rerumputan dan seluruh yang bernyawa tidak
lepas dari atmosfir cintanya. Dan cinta itu berbalas, seluruh mahluk bernyawa yang ada diwilayahnya juga
mencintainya.
Sehingga jika
seorang Tuu-Tu turun dari tahta ingin meninjau dan menemui rakyatnya maka tidak
saja kumpulan manusia yang memberi hormat dan sembah sujud tapi juga batu,
rerumputan dan bahkan mahluk–mahluk kecil seperti semut turut berkomunikasi dan
memberikan doa sembah sujud. Hal ini bisa terjadi karena seorang Tuu-Tu telah
mempunyai kejernihan mata bathin yang cukup tinggi. Semua itu adalah hasil
perpaduan dari keimanan (tauhid) cinta, keberanian, keikhlasan, ketabahan
yang membentuk karakter bisa merasa keluh kesah pesan serta harapan seluruh
mahluk bernyawa ciptaan Tuhan yang ada dalam wilayah kekuasaannya. Semua
aspirasi tersebut dijadikannya bahan pertimbangan dan landasan untuk memerintah
serta mengambil keputusan. Sangat hati–hati bila seorang Tuu-Tu mengambil
gagasan dan keputusan, karena ia sadar bahwa masyarakat yang dipimpinnya bukan
saja manusia tapi seluruh mahluk bernyawa yang ada dalam wilayah kekuasaannya
(hewan tumbuhan remputan batu air dll) adalah sebuah pertanggungjawaban semesta
yang akan dihisab kelak didepan penguasa jagad (Temeneno) sehingga jangan heran
pada masa Raja Tano Bolukan yang bergelar Tuu-Tu memerintah Negeri Tano Bolukan
dalam kondisi aman, tenteram, sentosa, adil dan penuh berkah.
Ini bisa terjadi
jika ada suatu persoalan yang penyelesaiannya sampai ketingkat Tuu-Tu (Raja)
maka diselesaikan secara arif dan bijak, tidak ada yang merasa dirugikan,
dikorbankan apalagi dibohongi (manipulasi). Seorang Tuu-Tu dalam menyelesaikan
masalah seperti menarik rambut dalam tepung, rambutnya tidak putus sedangkan
tepungnya tidak berhamburan.
Inilah kearifan
besar Tano Bolukan, falsafah Tuu-Tu yang menaungi kehidupan masyarakatnya
sampai hari ini masih tersisa bekas-bekasnya. Memang tidak semua raja-raja yang
memerintah Tano Bolukan bergelar Tuu-Tu dan mempunyai karakter Tuu-Tu, tapi
atmosfir falsafah Tuu-Tu telah mewarnai sejarah panjang perjalanan Tano
Bolukan. Hari ini jejak-jejak falsafah Tuu-Tu masih bisa kita temukan walaupun
tinggal serpihannya yaitu pada orang-orang Tua Banggai yang masih tersisa.
Bagaimana karakter
orang-orang tua Banggai yang masih tersisa falsafah Tuu-Tu; jika berbicara ia
perlahan-lahan, tidak terlalu keras. Lebih suka banyak mendengar, tidak suka
menonjolkan diri, suka mengalah dan mudah beradaptasi dengan semua orang. Jika
melihat keberhasilan orang lain ia tidak cemburu, malah bersyukur. Sehingga
banyak orang yang datang ke Banggai dan berhasil secara ekonomi langsung
kerasan menetap di Banggai. Orang-orang tua Banggai tersebut berpenampilan
sederhana dan tidak angkuh. Sangat menyayangi anak, keluarga dan siapa saja
yang sudah dekat dengannya. Mudah berterima kasih dan tidak ambisius. (Hal ini
terbangun dari mental Ya-yamo sehingga mereka secara ekonomi sering kala dan
tersingkir dengan para pendatang). Punya keyakinan yang kuat dan teguh
pendirian walaupun dalam keseharian kelihatan ramah dan lemah lembut.
Itulah sisa
karakter falsafah Tuu-Tu yang masih tersisa sampai hari ini. Lalu bagaimana
dengan falsafah Pancasila dan model kepemimpinan, serta interaksi sosial
kemasyarakatan yang ada di Indonesia? Terlalu jauh jika dibandingkan. Kalau di
Tano Bolukan kepemimpinan adalah beban berat dan pertanggung jawaban semesta
yang akan di hisab di depan penguasa jagad (Temeneno), di Indonesia
kepemimpinan adalah sumber kemewahan. Karenanya seorang pemimpin di Indonesia
kebanyakan bukan karena dipilih tapi di “beli” dengan harga yang sangat mahal.
Jika di Tano Bolukan interaksi sosialnya (seperti di gambarkan dalam Mian Tuu)
adalah saling mengisi, apresiatif dan partisipatif, di Indonesia hubungan
interaksi sosialnya adalah saling memakan dan menjatuhkan.
Namun perjalanan
sejarah telah menghantarkan Tano Bolukan kepangkuan NKRI (12 Desember 1959).
Banggai telah menyerahkan kedaulatannya pada Indonesia. Walaupun saat ini Banggai
hanya tinggal menjadi Kabupaten (itupun bermasalah), tapi falsafah Tuu-Tu harus
digali dan di praktekkan kembali dengan sentuhan-sentuhan kekinian agar bisa
membantu Indonesia keluar dari krisis panjangnya.[2]