Sunday, August 18, 2013

FALSAFAH HIDUP BANGSA BANGGAI



Di Indonesia banyak kita temukan kearifan lokal dan falsafah hidup yang cukup arif diberbagai daerah. Namun jika kita ukur kualitas kearifan tersebut dari tingkat interaksi kemasyarakatan dalam arti menyeluruh, maka ada dua daerah yang tingkat wisdomnya cukup tinggi yaitu di Kajang, Bulukumba (SULSEL) dan di Banggai, Sulawesi Tengah. Kalau di Kajang, Bulukumba kita mengetahui seleksi seseorang untuk menjadi Amatoa begitu ketat dan panjang juga falsafah Amatoa benar-benar sangat mempengaruhi pola dan corak hidup masyarakat Kajang. Hingga tingkat wisdom seseorang (Amatoa) dapat mempengaruhi seluruh interaksi kehidupan masyarakat Kajang. Baik dari sisi hukum, kemasyarakatan, ekonomi, sosial budaya dan sebagainya benar-benar mengacu pada falsafah Amatoa yang terkenal tingkat wisdomnya amat tinggi.[1]
 
Begitupun di Banggai Sulawesi Tengah, Falsafah Tuu-Tu pernah hidup dan bertahan 400 tahun lamanya yang sampai saat ini kita masih mendapati jejaknya. Tuu-Tu dalam arti harpia adalah kepala Negara, Raja, Kaisar, Sultan, Tomundo, Mumbu dan sebagainya yang mengacu pada kepemimpinan puncak sebuah negara. Di Banggai tempo dulu yang lebih dikenal dengan Tano Bolukan (Zaman Kerajaan) Tuu-Tu adalah penamaan lain dari Raja, Tomundo atau Mumbu. Semuanya mengacu pada pengertian pimpinan tertinggi (orang nomor satu) atau kepala Negara pada zaman itu.

Namun menarik dikaji bahwa Tuu-Tu tidak sekedar mengacu pada jabatan yang disandang seseorang sebagai kepala negara atau raja. Jika kita membaca Babad Banggai yaitu sejak tahun 1571, dimana Maulana Prins Mandapar untuk pertama kali membentuk sistem pemerintahan modern yang demokratis sampai pada tahun 1959, ketika raja Syukuran Amir menyerahkan kedaulatan pada NKRI, berturut-turut selama kurang lebih empat abad lamanya raja-raja yang memerintah di Tano Bolukan dengan jumlah berkisar 20-30 orang berturut-turut menduduki tahta Tano Bolukan namun tidak semua dari orang-orang tersebut bergelar Tuu–Tu. Jadi Tuu–Tu tidak saja mengacu pada jabatan tapi juga adalah gelar yang diberikan masyarakat, bahkan Tuu–Tu adalah anugerah alam pada seseorang yang tingkat keberanian, ketabahan, ilmu, keyakinan, kebijaksanaan dan karisma yang tidak diragukan lagi (manusia paripurna).

Namun ternyata Tuu–Tu tidak saja sekedar gelar dan ukuran tingkat wisdom (kebijaksanaan) seorang pemimpin. Dari hasil penelitian dan pengamatan yang cukup panjang, ternyata Tuu–Tu adalah sebuah falsafah hidup yang bertahan cukup lama di Tano Bolukan. Bahkan lebih dari itu Tuu–Tu adalah sebuah falsafah hidup yang benar-benar telah dipraktekan dalam kehidupan keseharian mulai dari orang nomor satu di Tano Bolukan (Raja/Kepala Negara). Seluruh petinggi Negara bahkan sampai pada rakyat kebanyakan. Falsafah Tuu–Tu mewarnai seluruh gerak kehidupan masyarakat Tano Bolukan mulai dari kehidupan beragama, hukum, ekonomi, sosial kemasyarakatan, budaya sampai pada tata cara perang, ekspansi dan ideologisasi armada perang. Dapat dikatakan bahwa falsafah Tuu–Tu telah menjadi landasan pijak dimana segala gerak kehidupan bermula.

Jika kita bandingkan dengan falsafah-falsafah besar yang pernah hadir dan menjadi arus utama penggerak umat manusia dibelahan dunia, sebut saja Ahimsa (melawan tanpa kekerasan) yang dibangun Mahatma Gandhi di India.              Dalai Lama di Tibet, Sun-zu di China dan berbagai belahan dunia lainnya. Falsafah Tuu–Tu memang tidak sempat mendunia walaupun ada. Ketenaran falsafah Tuu–Tu mulai redup sepeninggal Tuu–Tu Abdul Aziz (1900). Hal ini bisa terjadi karena budaya Tuu–Tu adalah hal yang mendominasi kehidupan keseharian, sehingga tidak ada bahasa jelas yang bisa menjaga kelestarian budaya Tuu–Tu tersebut. Mungkin ini salah satu kelemahan dari falsafah Tuu–Tu karena tidak adanya bahasa teks yang bisa mengabadikan falsafah tersebut pada generasi berikutnya.

Namun setiap falsafah besar yang mewarnai peradaban umat manusia, disamping sisi unggul ada juga sisi lemahnya. Walaupun falsafah besar tersebut derevasi dari kebenaran wahyu yang absolut. Ahimsa oleh Mahatma Ghandi, Ajaran Tauhid dan spiritual yang mendominasi Iran oleh Ayatullah Khomeni, Sun-zu, Dalai Lama dan sebagainya. Kearifan dan falsafah besar yang mereka bawah kadang memudar setelah tokoh utamanya tiada. Sublimasi kearah masyarakat banyak bisa juga kita temukan dan cukup bertahan beberapa saat namun atmosfir gerak dan daya dorong tidak sekuat ketika tokoh pengusung falsafah tersebut masih ada. Sehingga kearifan Sun-zu, Ghandi, Dalai Lama, Ayatullah kadang tinggal menjadi referensi yang bisa kita temukan dalam bahasa-bahasa teks (buku).

Lalu bagaiamana dengan falsafah Tuu-Tu yang terpendam 400 tahun lamanya di Tano Bolukan? Dari arti harfia seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa Tuu-Tu adalah kepala Negara, raja, kaisar, tomundo, baginda dan segalah sesuatu yang mengacu pada kepemimpinan puncak (orang nomor satu) pada sebuah Negara atau Kerajaan. Dalam arti lain yang lebih dalam Tuu-Tu adalah orang yang betul-betul-betul atau orang yang benar-benar-benar. Jadi artinya Tuu-Tu disamping predikat kepala negara/raja juga mengacu pada kepribadian paripurna yang integritasnya tidak diragukan lagi.

Selanjutnya dari posisi integritas/karakter falsafah  Tuu-Tu telah terderevasi menjadi sebuah gerak kolosal yang mewarnai seluruh aspek kehidupan masyarakat Tano Bolukan. Mulai dari orang nomor satu (raja) sampai pada rakyat kebanyakan. Dan akhirnya menggerakkan seluruh piranti masyarakat Tano Bolukan mulai dari penegakan hukum, penerapan syariat, penerapan jual beli, adat istiadat, tata pemerintahan dan sebagainya terwarnai dari falsafah Tuu-Tu.

Ketika falsafah Tuu-Tu telah mewarnai seluruh gerak dan aktivitas kehidupan masyarakat Tano Bolukan, maka falsafah tersebut telah menghujam pada keseharian setiap orang. Falsafah Tuu-Tu telah menjadi karakter dasar dan tindakan keseharian yang melampaui tataran teori dan jargon. Ketika falsafah Tuu-Tu telah menjadi karakter dasar, maka falsafah tersebut bukan lagi pada tataran simbol, ideologi atau ajaran seperti pancasila tapi telah menjadi sebuah bahasa tindakan.

Tuu-Tu adalah orang yang betul-betul atau benar-benar. Ini dimulai dari orang nomor satu (kepala negara) kemudian turun sampai beberapa tingkat kebawah di kalangan abdi negara. Dalam tata negara Tano Bolukan (Banggai) setelah raja, para penasehat raja, panglima perang, menteri-menteri dan dewan kerajaan, ada pada peringkat keempat setelah raja yang dinamakan Mian Tuu yang sampai hari ini kita masih menemukan di beberapa tempat,  yaitu :
-    Mian Tuu  Liang di Liang.
-    Mian Tuu Basaan di Bangkurung
-    Mian Tuu Palabatu di Lolantang.
-    Mian Tuu Lipu Adino di Liang.

Adapun arti dari Mian Tuu ini adalah orang benar atau orang yang tabiatnya terpuji (terpercaya). Dalam tradisi Tano Bolukan, jika Mian Tuu ini sedang berada dalam perjalanan (menjalankan tugas negara). Jika mereka sedang menyeberang dan kehabisan bekal lalu mendapatkan bubu atau sero (jenis alat tangkap ikan), Mian Tuu tersebut langsung bisa mengambil ikan di dalamnya walau tanpa terlebih dahulu meminta atau memberitahukan pada yang empunya. Begitupun jika Mian Tuu sedang berada di perkebunan masyarakat dia dapat langsung memetik/mengambil tanaman yang ada tanpa meminta dan memberitahu.

Tradisi ini ada dan bisa dipraktekkan karena yang empunya bubu/sero atau kebun begitu yakin bahwa Mian Tuu yang mengambil miliknya adalah orang benar/terpercaya yang sedang menjalankan tugas negara namun kehabisan bekal dalam perjalanan. Yang empunya bubu/sero atau kebun hanya melihat jika ada tanda khusus yang ditinggalkan (kode) dari Mian Tuu maka orang tersebut sudah sangat bersyukur karena ia telah turut membantu memperlancar tugas–tugas negara.

Bagaimana hal ini bisa terjadi? Seseorang yang diambil hak miliknya tanpa diminta dan diberi tahu malah balik bersyukur.  Ini adalah salah satu piranti unggul dari falsafah Tuu-Tu yang telah dipraktekkkan selama berabad abad di Tano Bolukan. Orang yang empunya kebun/bubu yakin dan percaya bahwa   Mian Tuu yang sedang menjalankan tugas negara hanya mengambil seperlunya yang ia butuhkan untuk melanjutkan perjalanan. Tidak berlebihan dan tidak merusak, bahkan setelah memberikan kode khusus bahwa yang mengambil ikan atau makanan dikebun itu adalah Mian Tuu langsung di doakan ke Temeneno (Allah SWT) agar yang empunya barang tersebut mendapatkan rahmat dan rezeki. Luar biasa,  sebuah interaksi sosial yang mungkin di zaman ini  hanya mitos dan dongeng.

Itu baru dalam konteks Mian Tuu (orang benar), telah terjadi hubungan saling percaya, apresiatif dan partisipatif. Bagaimana dengan Tuu-Tu (orang betul – betul – betul/orang benar – benar – benar) jika melakukan interaksi sosial dengan masyarakat yang dipimpinnya? Sudah pasti sangat dahsyat. Tuu-Tu adalah gelar tidak dipilih atau mencalonkan diri, tapi proses menjadi Tuu-Tu adalah mengalami seleksi alam dan kemasyarakatan yang sangat ketat dan lama. Sudah pasti posisinya dimasyarakat akan benar-benar sangat dipercaya. Tuu-Tu mencintai masyarakatnya, bukan Cuma masyarakat tapi alam sekitarnya  seperti hewan dan tumbuhan, rerumputan dan seluruh yang bernyawa tidak lepas dari atmosfir cintanya. Dan cinta itu berbalas, seluruh mahluk  bernyawa yang ada diwilayahnya juga mencintainya. 

Sehingga jika seorang Tuu-Tu turun dari tahta ingin meninjau dan menemui rakyatnya maka tidak saja kumpulan manusia yang memberi hormat dan sembah sujud tapi juga batu, rerumputan dan bahkan mahluk–mahluk kecil seperti semut turut berkomunikasi dan memberikan doa sembah sujud. Hal ini bisa terjadi karena seorang Tuu-Tu telah mempunyai kejernihan mata bathin yang cukup tinggi. Semua itu adalah hasil perpaduan dari keimanan (tauhid) cinta, keberanian, keikhlasan, ketabahan  yang membentuk karakter bisa merasa keluh kesah pesan serta harapan seluruh mahluk bernyawa ciptaan Tuhan yang ada dalam wilayah kekuasaannya. Semua aspirasi tersebut dijadikannya bahan pertimbangan dan landasan untuk memerintah serta mengambil keputusan. Sangat hati–hati bila seorang Tuu-Tu mengambil gagasan dan keputusan, karena ia sadar bahwa masyarakat yang dipimpinnya bukan saja manusia tapi seluruh mahluk bernyawa yang ada dalam wilayah kekuasaannya (hewan tumbuhan remputan batu air dll) adalah sebuah pertanggungjawaban semesta yang akan dihisab kelak didepan penguasa jagad (Temeneno) sehingga jangan heran pada masa Raja Tano Bolukan yang bergelar Tuu-Tu memerintah Negeri Tano Bolukan dalam kondisi aman, tenteram, sentosa, adil dan penuh berkah. 

Ini bisa terjadi jika ada suatu persoalan yang penyelesaiannya sampai ketingkat Tuu-Tu (Raja) maka diselesaikan secara arif dan bijak, tidak ada yang merasa dirugikan, dikorbankan apalagi dibohongi (manipulasi). Seorang Tuu-Tu dalam menyelesaikan masalah seperti menarik rambut dalam tepung, rambutnya tidak putus sedangkan tepungnya tidak berhamburan. 

Inilah kearifan besar Tano Bolukan,  falsafah Tuu-Tu yang menaungi kehidupan masyarakatnya sampai hari ini masih tersisa bekas-bekasnya. Memang tidak semua raja-raja yang memerintah Tano Bolukan bergelar Tuu-Tu dan mempunyai karakter Tuu-Tu, tapi atmosfir falsafah Tuu-Tu telah mewarnai sejarah panjang perjalanan Tano Bolukan. Hari ini jejak-jejak falsafah Tuu-Tu masih bisa kita temukan walaupun tinggal serpihannya yaitu pada orang-orang Tua Banggai yang masih tersisa.

Bagaimana karakter orang-orang tua Banggai yang masih tersisa falsafah Tuu-Tu; jika berbicara ia perlahan-lahan, tidak terlalu keras. Lebih suka banyak mendengar, tidak suka menonjolkan diri, suka mengalah dan mudah beradaptasi dengan semua orang. Jika melihat keberhasilan orang lain ia tidak cemburu, malah bersyukur. Sehingga banyak orang yang datang ke Banggai dan berhasil secara ekonomi langsung kerasan menetap di Banggai. Orang-orang tua Banggai tersebut berpenampilan sederhana dan tidak angkuh. Sangat menyayangi anak, keluarga dan siapa saja yang sudah dekat dengannya. Mudah berterima kasih dan tidak ambisius. (Hal ini terbangun dari mental Ya-yamo sehingga mereka secara ekonomi sering kala dan tersingkir dengan para pendatang). Punya keyakinan yang kuat dan teguh pendirian walaupun dalam keseharian kelihatan ramah dan lemah lembut. 

Itulah sisa karakter falsafah Tuu-Tu yang masih tersisa sampai hari ini. Lalu bagaimana dengan falsafah Pancasila dan model kepemimpinan, serta interaksi sosial kemasyarakatan yang ada di Indonesia? Terlalu jauh jika dibandingkan. Kalau di Tano Bolukan kepemimpinan adalah beban berat dan pertanggung jawaban semesta yang akan di hisab di depan penguasa jagad (Temeneno), di Indonesia kepemimpinan adalah sumber kemewahan. Karenanya seorang pemimpin di Indonesia kebanyakan bukan karena dipilih tapi di “beli” dengan harga yang sangat mahal. Jika di Tano Bolukan interaksi sosialnya (seperti di gambarkan dalam Mian Tuu) adalah saling mengisi, apresiatif dan partisipatif, di Indonesia hubungan interaksi sosialnya adalah saling memakan dan menjatuhkan.

Namun perjalanan sejarah telah menghantarkan Tano Bolukan kepangkuan NKRI (12 Desember 1959). Banggai telah menyerahkan kedaulatannya pada Indonesia. Walaupun saat ini Banggai hanya tinggal menjadi Kabupaten (itupun bermasalah), tapi falsafah Tuu-Tu harus digali dan di praktekkan kembali dengan sentuhan-sentuhan kekinian agar bisa membantu Indonesia keluar dari krisis panjangnya.[2]


[1]  Tasawuf Kajang; Mas Alim Katu. Makasar, 2005.
[2]   Kruyt, To Loinang, hal 361.
     Handelingan Tweede Kamer 1864/65, Bijlage XXI, Stuk No.19.

PERADABAN BANGGAI



   Di Indonesia, tiap-tiap daerah besar seperti Buton, Ternate, Batak, Bugis, Jawa, sampai hari ini masih melekat kearifan lokalnya. Hal ini dapat dilihat dari proses mengidentitaskan diri. Misalnya saya orang Bugis, saya harus hidup dengan tata cara pandang ala Bugis. Begitupun orang Ternate , Jawa, Batak, Buton dan lain-lain. Memang setiap suku bangsa ini kita masih bisa menemukan kelokalannya sekalipun mereka itu hidup di rantau. Apa itu dari sikap dan tingkah lakunya, maupun dari tradisi yang mereka pertahankan.[1]
 
Lalu bagaimana dengan Banggai. Apakah Banggai mempunyai kearifan lokal? Sebagai sebuah daerah yang dulunya bekas negara berdaulat, kita masih tetap menemukan kelokalan Banggai. Baik itu dari tata cara hidup, bahasa yang dipakai maupun falsafah hidup yang dianutnya. Kita masih bisa menemukan jejak-jejak Banggai tempo dulu yang dapat tersambung dengan Banggai saat ini. Sepintas kilas kitapun langsung dapat menjatuhkan vonis bahwa Banggai mempunyai kearifan lokal. Namun setelah kita telusuri lebih jauh kedalam, ataupun setelah dipaparkan dalam buku ini kitapun harus sepakat bahwa kearifan lokal Banggai itu tidak ada. Artinya Sesuatu yang mencirikan bahwa itu benar Banggai; baik itu dari adat istiadatnya, pola hidup dan cara pandang itu bukanlah kearifan lokal Banggai walaupun itu kita temukan pada masyarakat dan tanah Banggai. Kenapa demikian? Karena baik cara hidup, adat istiadat, pandangan hidup sampai pada agama yang dianut tidak berasal dari kelokalan Banggai. 

Dengan bahasa yang jujur kita harus katakan bahwa Banggai tidak mempunyai kearifan lokal, sebab falsafah hidup yang terbangun sejak abad ke-16 sudah banyak diisi dengan muatan-muatan luar. Sebut saja Adi Cokro/Adi Soko yang dari tanah Jawa diutus oleh Kerajaan Demak untuk membendung Portugis dari Ternate. Falsafah hidup yang terbelah dari 4 (empat) kebasaloan yakni Basalo Sangkap banyak terpengaruh dan berubah drastis setelah kedatangan Adi Soko. Apalagi salah satu misi dari Adi Soko adalah untuk menyebarkan Agama Islam, maka sangat besar ideologi Islam mempengaruhi kearifan lokal tanah Banggai.

Selanjutnya setelah Adi Soko meletakkan dasar-dasar ideologi dan falsafah hidup dengan perpaduan falsafah lokal (tradisi Basalo Sangkap) yang telah ada sebelumnya, maka tradisi kearifan lokal Banggai mencapai puncaknya pada Zaman Maulana Prins Mandapar. Karena disamping Mandapar telah berhasil meletakkan dasar-dasar pemerintahan modern yang adil bijaksana dan demokratis, Prins Mandapar telah berhasil memperkaya kearifan lokal Banggai dengan budaya-budaya besar lain di nusantara. Sebut saja Tengku Hasan Alam, yang lebih dikenal di Banggai dengan “Kakai Tanduwalang” adalah seorang ulama besar dari Aceh yang diangkat oleh Mandapar sebagai Sekretaris Kerajaan. Begitupun pejabat-pejabat kerajaan lainnya, ada yang berasal dari Ternate , Bugis, Jawa, Buton dan lain-lain. Para pejabat Kerajaan Banggai yang berasal dari berbagai wilayah nusantara ini membawa karaktek dasar dan kearifan lokal daerahnya masing-masing yang kesemuanya itu dipadukan menjadi satu dan dipautkan dengan karakter lokal Mian Banggai yang santun dan jujur, maka terbentuklah kearifan nusantara tanah Banggai.

Jadi kearifan lokal yang ada di Banggai adalah perpaduan dari berbagai kearifan lokal nusantara (Indonesia) sehingga kita tidak dapat menemukan kearifan lokal, karena kelokalannya terdiri dari berbagai kearifan lokal yang berpadu seperti kearifan tanah Jawa, Aceh, Bima, Ternate, Bugis, Buton, Gorontalo dan lain-lain. Artinya kalau mau jujur, karakter dan identitas Indonesia sudah terbentuk sejak abad ke-16 di Tano Bolukan (Banggai). Karenanya jika hari ini Indonesia banyak mengalami krisis, baik krisis identitas, krisis ,kepercayaan dan krisis-krisis lainnya maka kita harus kembali dan mengacu pada Tano Bolukan (Tanah Untuk Meluruskan). Karena disanalah tempat berpadunya seluruh karakter dan kearifan lokal nusantara yang terpelihara sekian abad lamanya dengan alam Tano Bolukan (Banggai) yang subur, ramah dan bersahabat.


[1]   Goedhart, Drie landschappen, hal.472 – 473.

STRUKTUR PEMERINTAHAN NEGARA BANGGAI TH 1600 - 1959



 Struktur Pemerintahan dan Perundang-Undangan
Sejak Maulana Prins Mandapar memegang tampuk pemerintahan Kerajaan Banggai pada tahun 1571M. Kerajaan Banggai telah ditata bentuk pemerintahannya dari struktur tunggal raja, berkembang menjadi sistim pemerintahan modern yang didalamnya terdapat pembauran berbagai jenis suku bangsa dari pelosok-pelosok nusantara.


                                         Bagan Struktur Pemerintahan Kerajaan Banggai :
STRUKTUR KERAJAAN BANGGAI
BASALO SANGKAP                TOMUNDO/RAJA BANGGAI                                         KALLE
1.  Basalo Kokini                                                                    
2.  Singgolok                     
3.  Babolau                        
4.  Katapean                                            Juru Tulis Tomundo

KOMISI EMPAT
1.  Djogugu                             2. Hukum Tua                           3. Mayor Ngopa                   4. Kapitan Laut

MIAN TUU
1.  Basaan                               2. Liang                                     3. Palabatu                           4. Lipuadino

IMAM BANGINSA/KEPALA IMAM

GIMALAHA

WILAYAH KERAJAAN BANGGAI

GELAR BASALO                                       GELAR BOSANO                            GELAR BOSANYO
1.  Basalo Tinangkung                                1. Bosano Balantak                           1. Bosanyo Luwuk
2.  Basalo Bulagi                                         2. Bosano Lamala                             2. Bosanyo Kintom
3.  Basalo Totikum                                      3. Bosano Masama                           3. Bosanyo Batui
4.  Basalo Labobo/Mansalean                                                                              4. Bosanyo Bunta
5.  Basalo Buko                                                                                                    5. Bosanyo Pagimana
6.  Basalo Liang
7.  Panabela Banggai

Keterangan :
-   Untuk Basalo Sangkap, disamping mempunyai kedaulatan diwilayah masing-masing juga dikuti oleh beberapa wilayah ikutan juga mempunyai tugas khusus yaitu mengangkat, memberhentikan dan memberi nasihat dan pertimbangan kepada raja (Dewan Kerajaan).
-   Untuk Komisi Empat adalah pembantu raja yang masing-masing mempunyai tugas dan jabatan sebagai berikut :
1. Jogugu adalah Menteri Dalam Negeri beserta struktur pembantunya yang berkedudukan di pusat ibukota kerajaan (Banggai) dan sekitarnya sampai ke wilayah Labobo, Bangkurung dan Bokan Kepulauan, yang bertugas mendampingi raja dalam berbagai urusan ketatanegaraan terutama dalam pengambilan keputusan penting kenegaraan. Jogugu sewaktu-waktu dapat menggantikan kedudukan raja jika dalam menjalankan pemerintahan, raja berhalangan.
2. Hukum tua beserta struktur bawahannya adalah menteri hukum dan syariat yang bertugas mengurusi dan memutuskan persoalan-persoalan hukum dalam negeri. Hukum Tua berkedudukan di Pulau Peling dan sekitarnya.
3. Mayor Ngopa adalah Menteri Muda beserta jajarannya yang bertugas mengurusi dan mengawasi asset-asset negara beserta pengembangan perekonomian. Mayor Ngopa berkedudukan di Teluk Tomini (Wilayah Kabupaten Tojo Una-Una dan Kabupaten Poso saat ini).
4.  Kapitan Laut beserta jajaran dibawahnya adalah panglima perang yang mengatur strategi pertahanan, pertempuran dan ekspansi untuk perluasan wilayah kerajaan. Kapitan Laut berkedudukan di Batui dan Balantak (Kabupaten Banggai saat ini).

Inilah sekilas struktur Kerajaan Banggai beserta tugas dan wilayah kekuasaanya masing-masing. Dalam hal ini penulis tidak dapat menjelaskan seluruh tugas dan kedudukan masing–masing staf kerajaan yang ada dalam Tata Negara Banggai saat itu.[1]
Sejak abad ke-11 kerajaan Banggai telah diwartakan oleh kerajaan Kediri. Pada abad ke-13 Banggai sebagai Kerajaan sudah dikenal oleh Kerajaan Singosari begitu juga pada zaman kejayaan Kerajaan Majapahit dengan Rajanya yang terkenal Hayam Wuruk, Banggai menjadi salah satu bagian kerajaannya. Lebih dari itu Mahapati Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa dalam mempersatukan Nusantara sempat menetap beberapa saat di Banggai dengan nama yang cukup popular di Banggai yaitu Masandak (orang sakti mandraguna yang berperawakan besar).



[1]    Hukum Adat Banggai, Dr. JJ Dormeier, buku bagian ke-6. 1945.