Sunday, August 18, 2013

FALSAFAH HIDUP BANGSA BANGGAI



Di Indonesia banyak kita temukan kearifan lokal dan falsafah hidup yang cukup arif diberbagai daerah. Namun jika kita ukur kualitas kearifan tersebut dari tingkat interaksi kemasyarakatan dalam arti menyeluruh, maka ada dua daerah yang tingkat wisdomnya cukup tinggi yaitu di Kajang, Bulukumba (SULSEL) dan di Banggai, Sulawesi Tengah. Kalau di Kajang, Bulukumba kita mengetahui seleksi seseorang untuk menjadi Amatoa begitu ketat dan panjang juga falsafah Amatoa benar-benar sangat mempengaruhi pola dan corak hidup masyarakat Kajang. Hingga tingkat wisdom seseorang (Amatoa) dapat mempengaruhi seluruh interaksi kehidupan masyarakat Kajang. Baik dari sisi hukum, kemasyarakatan, ekonomi, sosial budaya dan sebagainya benar-benar mengacu pada falsafah Amatoa yang terkenal tingkat wisdomnya amat tinggi.[1]
 
Begitupun di Banggai Sulawesi Tengah, Falsafah Tuu-Tu pernah hidup dan bertahan 400 tahun lamanya yang sampai saat ini kita masih mendapati jejaknya. Tuu-Tu dalam arti harpia adalah kepala Negara, Raja, Kaisar, Sultan, Tomundo, Mumbu dan sebagainya yang mengacu pada kepemimpinan puncak sebuah negara. Di Banggai tempo dulu yang lebih dikenal dengan Tano Bolukan (Zaman Kerajaan) Tuu-Tu adalah penamaan lain dari Raja, Tomundo atau Mumbu. Semuanya mengacu pada pengertian pimpinan tertinggi (orang nomor satu) atau kepala Negara pada zaman itu.

Namun menarik dikaji bahwa Tuu-Tu tidak sekedar mengacu pada jabatan yang disandang seseorang sebagai kepala negara atau raja. Jika kita membaca Babad Banggai yaitu sejak tahun 1571, dimana Maulana Prins Mandapar untuk pertama kali membentuk sistem pemerintahan modern yang demokratis sampai pada tahun 1959, ketika raja Syukuran Amir menyerahkan kedaulatan pada NKRI, berturut-turut selama kurang lebih empat abad lamanya raja-raja yang memerintah di Tano Bolukan dengan jumlah berkisar 20-30 orang berturut-turut menduduki tahta Tano Bolukan namun tidak semua dari orang-orang tersebut bergelar Tuu–Tu. Jadi Tuu–Tu tidak saja mengacu pada jabatan tapi juga adalah gelar yang diberikan masyarakat, bahkan Tuu–Tu adalah anugerah alam pada seseorang yang tingkat keberanian, ketabahan, ilmu, keyakinan, kebijaksanaan dan karisma yang tidak diragukan lagi (manusia paripurna).

Namun ternyata Tuu–Tu tidak saja sekedar gelar dan ukuran tingkat wisdom (kebijaksanaan) seorang pemimpin. Dari hasil penelitian dan pengamatan yang cukup panjang, ternyata Tuu–Tu adalah sebuah falsafah hidup yang bertahan cukup lama di Tano Bolukan. Bahkan lebih dari itu Tuu–Tu adalah sebuah falsafah hidup yang benar-benar telah dipraktekan dalam kehidupan keseharian mulai dari orang nomor satu di Tano Bolukan (Raja/Kepala Negara). Seluruh petinggi Negara bahkan sampai pada rakyat kebanyakan. Falsafah Tuu–Tu mewarnai seluruh gerak kehidupan masyarakat Tano Bolukan mulai dari kehidupan beragama, hukum, ekonomi, sosial kemasyarakatan, budaya sampai pada tata cara perang, ekspansi dan ideologisasi armada perang. Dapat dikatakan bahwa falsafah Tuu–Tu telah menjadi landasan pijak dimana segala gerak kehidupan bermula.

Jika kita bandingkan dengan falsafah-falsafah besar yang pernah hadir dan menjadi arus utama penggerak umat manusia dibelahan dunia, sebut saja Ahimsa (melawan tanpa kekerasan) yang dibangun Mahatma Gandhi di India.              Dalai Lama di Tibet, Sun-zu di China dan berbagai belahan dunia lainnya. Falsafah Tuu–Tu memang tidak sempat mendunia walaupun ada. Ketenaran falsafah Tuu–Tu mulai redup sepeninggal Tuu–Tu Abdul Aziz (1900). Hal ini bisa terjadi karena budaya Tuu–Tu adalah hal yang mendominasi kehidupan keseharian, sehingga tidak ada bahasa jelas yang bisa menjaga kelestarian budaya Tuu–Tu tersebut. Mungkin ini salah satu kelemahan dari falsafah Tuu–Tu karena tidak adanya bahasa teks yang bisa mengabadikan falsafah tersebut pada generasi berikutnya.

Namun setiap falsafah besar yang mewarnai peradaban umat manusia, disamping sisi unggul ada juga sisi lemahnya. Walaupun falsafah besar tersebut derevasi dari kebenaran wahyu yang absolut. Ahimsa oleh Mahatma Ghandi, Ajaran Tauhid dan spiritual yang mendominasi Iran oleh Ayatullah Khomeni, Sun-zu, Dalai Lama dan sebagainya. Kearifan dan falsafah besar yang mereka bawah kadang memudar setelah tokoh utamanya tiada. Sublimasi kearah masyarakat banyak bisa juga kita temukan dan cukup bertahan beberapa saat namun atmosfir gerak dan daya dorong tidak sekuat ketika tokoh pengusung falsafah tersebut masih ada. Sehingga kearifan Sun-zu, Ghandi, Dalai Lama, Ayatullah kadang tinggal menjadi referensi yang bisa kita temukan dalam bahasa-bahasa teks (buku).

Lalu bagaiamana dengan falsafah Tuu-Tu yang terpendam 400 tahun lamanya di Tano Bolukan? Dari arti harfia seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa Tuu-Tu adalah kepala Negara, raja, kaisar, tomundo, baginda dan segalah sesuatu yang mengacu pada kepemimpinan puncak (orang nomor satu) pada sebuah Negara atau Kerajaan. Dalam arti lain yang lebih dalam Tuu-Tu adalah orang yang betul-betul-betul atau orang yang benar-benar-benar. Jadi artinya Tuu-Tu disamping predikat kepala negara/raja juga mengacu pada kepribadian paripurna yang integritasnya tidak diragukan lagi.

Selanjutnya dari posisi integritas/karakter falsafah  Tuu-Tu telah terderevasi menjadi sebuah gerak kolosal yang mewarnai seluruh aspek kehidupan masyarakat Tano Bolukan. Mulai dari orang nomor satu (raja) sampai pada rakyat kebanyakan. Dan akhirnya menggerakkan seluruh piranti masyarakat Tano Bolukan mulai dari penegakan hukum, penerapan syariat, penerapan jual beli, adat istiadat, tata pemerintahan dan sebagainya terwarnai dari falsafah Tuu-Tu.

Ketika falsafah Tuu-Tu telah mewarnai seluruh gerak dan aktivitas kehidupan masyarakat Tano Bolukan, maka falsafah tersebut telah menghujam pada keseharian setiap orang. Falsafah Tuu-Tu telah menjadi karakter dasar dan tindakan keseharian yang melampaui tataran teori dan jargon. Ketika falsafah Tuu-Tu telah menjadi karakter dasar, maka falsafah tersebut bukan lagi pada tataran simbol, ideologi atau ajaran seperti pancasila tapi telah menjadi sebuah bahasa tindakan.

Tuu-Tu adalah orang yang betul-betul atau benar-benar. Ini dimulai dari orang nomor satu (kepala negara) kemudian turun sampai beberapa tingkat kebawah di kalangan abdi negara. Dalam tata negara Tano Bolukan (Banggai) setelah raja, para penasehat raja, panglima perang, menteri-menteri dan dewan kerajaan, ada pada peringkat keempat setelah raja yang dinamakan Mian Tuu yang sampai hari ini kita masih menemukan di beberapa tempat,  yaitu :
-    Mian Tuu  Liang di Liang.
-    Mian Tuu Basaan di Bangkurung
-    Mian Tuu Palabatu di Lolantang.
-    Mian Tuu Lipu Adino di Liang.

Adapun arti dari Mian Tuu ini adalah orang benar atau orang yang tabiatnya terpuji (terpercaya). Dalam tradisi Tano Bolukan, jika Mian Tuu ini sedang berada dalam perjalanan (menjalankan tugas negara). Jika mereka sedang menyeberang dan kehabisan bekal lalu mendapatkan bubu atau sero (jenis alat tangkap ikan), Mian Tuu tersebut langsung bisa mengambil ikan di dalamnya walau tanpa terlebih dahulu meminta atau memberitahukan pada yang empunya. Begitupun jika Mian Tuu sedang berada di perkebunan masyarakat dia dapat langsung memetik/mengambil tanaman yang ada tanpa meminta dan memberitahu.

Tradisi ini ada dan bisa dipraktekkan karena yang empunya bubu/sero atau kebun begitu yakin bahwa Mian Tuu yang mengambil miliknya adalah orang benar/terpercaya yang sedang menjalankan tugas negara namun kehabisan bekal dalam perjalanan. Yang empunya bubu/sero atau kebun hanya melihat jika ada tanda khusus yang ditinggalkan (kode) dari Mian Tuu maka orang tersebut sudah sangat bersyukur karena ia telah turut membantu memperlancar tugas–tugas negara.

Bagaimana hal ini bisa terjadi? Seseorang yang diambil hak miliknya tanpa diminta dan diberi tahu malah balik bersyukur.  Ini adalah salah satu piranti unggul dari falsafah Tuu-Tu yang telah dipraktekkkan selama berabad abad di Tano Bolukan. Orang yang empunya kebun/bubu yakin dan percaya bahwa   Mian Tuu yang sedang menjalankan tugas negara hanya mengambil seperlunya yang ia butuhkan untuk melanjutkan perjalanan. Tidak berlebihan dan tidak merusak, bahkan setelah memberikan kode khusus bahwa yang mengambil ikan atau makanan dikebun itu adalah Mian Tuu langsung di doakan ke Temeneno (Allah SWT) agar yang empunya barang tersebut mendapatkan rahmat dan rezeki. Luar biasa,  sebuah interaksi sosial yang mungkin di zaman ini  hanya mitos dan dongeng.

Itu baru dalam konteks Mian Tuu (orang benar), telah terjadi hubungan saling percaya, apresiatif dan partisipatif. Bagaimana dengan Tuu-Tu (orang betul – betul – betul/orang benar – benar – benar) jika melakukan interaksi sosial dengan masyarakat yang dipimpinnya? Sudah pasti sangat dahsyat. Tuu-Tu adalah gelar tidak dipilih atau mencalonkan diri, tapi proses menjadi Tuu-Tu adalah mengalami seleksi alam dan kemasyarakatan yang sangat ketat dan lama. Sudah pasti posisinya dimasyarakat akan benar-benar sangat dipercaya. Tuu-Tu mencintai masyarakatnya, bukan Cuma masyarakat tapi alam sekitarnya  seperti hewan dan tumbuhan, rerumputan dan seluruh yang bernyawa tidak lepas dari atmosfir cintanya. Dan cinta itu berbalas, seluruh mahluk  bernyawa yang ada diwilayahnya juga mencintainya. 

Sehingga jika seorang Tuu-Tu turun dari tahta ingin meninjau dan menemui rakyatnya maka tidak saja kumpulan manusia yang memberi hormat dan sembah sujud tapi juga batu, rerumputan dan bahkan mahluk–mahluk kecil seperti semut turut berkomunikasi dan memberikan doa sembah sujud. Hal ini bisa terjadi karena seorang Tuu-Tu telah mempunyai kejernihan mata bathin yang cukup tinggi. Semua itu adalah hasil perpaduan dari keimanan (tauhid) cinta, keberanian, keikhlasan, ketabahan  yang membentuk karakter bisa merasa keluh kesah pesan serta harapan seluruh mahluk bernyawa ciptaan Tuhan yang ada dalam wilayah kekuasaannya. Semua aspirasi tersebut dijadikannya bahan pertimbangan dan landasan untuk memerintah serta mengambil keputusan. Sangat hati–hati bila seorang Tuu-Tu mengambil gagasan dan keputusan, karena ia sadar bahwa masyarakat yang dipimpinnya bukan saja manusia tapi seluruh mahluk bernyawa yang ada dalam wilayah kekuasaannya (hewan tumbuhan remputan batu air dll) adalah sebuah pertanggungjawaban semesta yang akan dihisab kelak didepan penguasa jagad (Temeneno) sehingga jangan heran pada masa Raja Tano Bolukan yang bergelar Tuu-Tu memerintah Negeri Tano Bolukan dalam kondisi aman, tenteram, sentosa, adil dan penuh berkah. 

Ini bisa terjadi jika ada suatu persoalan yang penyelesaiannya sampai ketingkat Tuu-Tu (Raja) maka diselesaikan secara arif dan bijak, tidak ada yang merasa dirugikan, dikorbankan apalagi dibohongi (manipulasi). Seorang Tuu-Tu dalam menyelesaikan masalah seperti menarik rambut dalam tepung, rambutnya tidak putus sedangkan tepungnya tidak berhamburan. 

Inilah kearifan besar Tano Bolukan,  falsafah Tuu-Tu yang menaungi kehidupan masyarakatnya sampai hari ini masih tersisa bekas-bekasnya. Memang tidak semua raja-raja yang memerintah Tano Bolukan bergelar Tuu-Tu dan mempunyai karakter Tuu-Tu, tapi atmosfir falsafah Tuu-Tu telah mewarnai sejarah panjang perjalanan Tano Bolukan. Hari ini jejak-jejak falsafah Tuu-Tu masih bisa kita temukan walaupun tinggal serpihannya yaitu pada orang-orang Tua Banggai yang masih tersisa.

Bagaimana karakter orang-orang tua Banggai yang masih tersisa falsafah Tuu-Tu; jika berbicara ia perlahan-lahan, tidak terlalu keras. Lebih suka banyak mendengar, tidak suka menonjolkan diri, suka mengalah dan mudah beradaptasi dengan semua orang. Jika melihat keberhasilan orang lain ia tidak cemburu, malah bersyukur. Sehingga banyak orang yang datang ke Banggai dan berhasil secara ekonomi langsung kerasan menetap di Banggai. Orang-orang tua Banggai tersebut berpenampilan sederhana dan tidak angkuh. Sangat menyayangi anak, keluarga dan siapa saja yang sudah dekat dengannya. Mudah berterima kasih dan tidak ambisius. (Hal ini terbangun dari mental Ya-yamo sehingga mereka secara ekonomi sering kala dan tersingkir dengan para pendatang). Punya keyakinan yang kuat dan teguh pendirian walaupun dalam keseharian kelihatan ramah dan lemah lembut. 

Itulah sisa karakter falsafah Tuu-Tu yang masih tersisa sampai hari ini. Lalu bagaimana dengan falsafah Pancasila dan model kepemimpinan, serta interaksi sosial kemasyarakatan yang ada di Indonesia? Terlalu jauh jika dibandingkan. Kalau di Tano Bolukan kepemimpinan adalah beban berat dan pertanggung jawaban semesta yang akan di hisab di depan penguasa jagad (Temeneno), di Indonesia kepemimpinan adalah sumber kemewahan. Karenanya seorang pemimpin di Indonesia kebanyakan bukan karena dipilih tapi di “beli” dengan harga yang sangat mahal. Jika di Tano Bolukan interaksi sosialnya (seperti di gambarkan dalam Mian Tuu) adalah saling mengisi, apresiatif dan partisipatif, di Indonesia hubungan interaksi sosialnya adalah saling memakan dan menjatuhkan.

Namun perjalanan sejarah telah menghantarkan Tano Bolukan kepangkuan NKRI (12 Desember 1959). Banggai telah menyerahkan kedaulatannya pada Indonesia. Walaupun saat ini Banggai hanya tinggal menjadi Kabupaten (itupun bermasalah), tapi falsafah Tuu-Tu harus digali dan di praktekkan kembali dengan sentuhan-sentuhan kekinian agar bisa membantu Indonesia keluar dari krisis panjangnya.[2]


[1]  Tasawuf Kajang; Mas Alim Katu. Makasar, 2005.
[2]   Kruyt, To Loinang, hal 361.
     Handelingan Tweede Kamer 1864/65, Bijlage XXI, Stuk No.19.

No comments:

Post a Comment