Di Indonesia,
tiap-tiap daerah besar seperti Buton, Ternate, Batak, Bugis, Jawa, sampai hari
ini masih melekat kearifan lokalnya. Hal ini dapat dilihat dari proses
mengidentitaskan diri. Misalnya saya orang Bugis, saya harus hidup dengan tata
cara pandang ala Bugis. Begitupun orang Ternate , Jawa, Batak, Buton dan
lain-lain. Memang setiap suku bangsa ini kita masih bisa menemukan kelokalannya
sekalipun mereka itu hidup di rantau. Apa itu dari sikap dan tingkah lakunya, maupun
dari tradisi yang mereka pertahankan.[1]
Lalu bagaimana
dengan Banggai. Apakah Banggai mempunyai kearifan lokal? Sebagai sebuah daerah
yang dulunya bekas negara berdaulat, kita masih tetap menemukan kelokalan
Banggai. Baik itu dari tata cara hidup, bahasa yang dipakai maupun falsafah
hidup yang dianutnya. Kita masih bisa menemukan jejak-jejak Banggai tempo dulu
yang dapat tersambung dengan Banggai saat ini. Sepintas kilas kitapun langsung
dapat menjatuhkan vonis bahwa Banggai mempunyai kearifan lokal. Namun setelah
kita telusuri lebih jauh kedalam, ataupun setelah dipaparkan dalam buku ini
kitapun harus sepakat bahwa kearifan lokal Banggai itu tidak ada. Artinya
Sesuatu yang mencirikan bahwa itu benar Banggai; baik itu dari adat
istiadatnya, pola hidup dan cara pandang itu bukanlah kearifan lokal Banggai
walaupun itu kita temukan pada masyarakat dan tanah Banggai. Kenapa demikian?
Karena baik cara hidup, adat istiadat, pandangan hidup sampai pada agama yang
dianut tidak berasal dari kelokalan Banggai.
Dengan bahasa yang
jujur kita harus katakan bahwa Banggai tidak mempunyai kearifan lokal, sebab
falsafah hidup yang terbangun sejak abad ke-16 sudah banyak diisi dengan
muatan-muatan luar. Sebut saja Adi Cokro/Adi Soko yang dari tanah Jawa diutus
oleh Kerajaan Demak untuk membendung Portugis dari Ternate. Falsafah hidup yang
terbelah dari 4 (empat) kebasaloan yakni Basalo Sangkap banyak terpengaruh dan
berubah drastis setelah kedatangan Adi Soko. Apalagi salah satu misi dari Adi
Soko adalah untuk menyebarkan Agama Islam, maka sangat besar ideologi Islam
mempengaruhi kearifan lokal tanah Banggai.
Selanjutnya setelah
Adi Soko meletakkan dasar-dasar ideologi dan falsafah hidup dengan perpaduan
falsafah lokal (tradisi Basalo Sangkap) yang telah ada sebelumnya, maka tradisi
kearifan lokal Banggai mencapai puncaknya pada Zaman Maulana Prins Mandapar.
Karena disamping Mandapar telah berhasil meletakkan dasar-dasar pemerintahan
modern yang adil bijaksana dan demokratis, Prins Mandapar telah berhasil
memperkaya kearifan lokal Banggai dengan budaya-budaya besar lain di nusantara.
Sebut saja Tengku Hasan Alam, yang lebih dikenal di Banggai dengan “Kakai
Tanduwalang” adalah seorang ulama besar dari Aceh yang diangkat oleh Mandapar
sebagai Sekretaris Kerajaan. Begitupun pejabat-pejabat kerajaan lainnya, ada
yang berasal dari Ternate , Bugis, Jawa, Buton dan lain-lain. Para pejabat
Kerajaan Banggai yang berasal dari berbagai wilayah nusantara ini membawa
karaktek dasar dan kearifan lokal daerahnya masing-masing yang kesemuanya itu
dipadukan menjadi satu dan dipautkan dengan karakter lokal Mian Banggai yang
santun dan jujur, maka terbentuklah kearifan nusantara tanah Banggai.
Jadi kearifan lokal
yang ada di Banggai adalah perpaduan dari berbagai kearifan lokal nusantara
(Indonesia) sehingga kita tidak dapat menemukan kearifan lokal, karena
kelokalannya terdiri dari berbagai kearifan lokal yang berpadu seperti kearifan
tanah Jawa, Aceh, Bima, Ternate, Bugis, Buton, Gorontalo dan lain-lain. Artinya
kalau mau jujur, karakter dan identitas Indonesia sudah terbentuk sejak abad
ke-16 di Tano Bolukan (Banggai). Karenanya jika hari ini Indonesia banyak
mengalami krisis, baik krisis identitas, krisis ,kepercayaan dan krisis-krisis
lainnya maka kita harus kembali dan mengacu pada Tano Bolukan (Tanah Untuk
Meluruskan). Karena disanalah tempat berpadunya seluruh karakter dan kearifan
lokal nusantara yang terpelihara sekian abad lamanya dengan alam Tano Bolukan
(Banggai) yang subur, ramah dan bersahabat.
No comments:
Post a Comment