Sunday, August 18, 2013

PERADABAN BANGGAI



   Di Indonesia, tiap-tiap daerah besar seperti Buton, Ternate, Batak, Bugis, Jawa, sampai hari ini masih melekat kearifan lokalnya. Hal ini dapat dilihat dari proses mengidentitaskan diri. Misalnya saya orang Bugis, saya harus hidup dengan tata cara pandang ala Bugis. Begitupun orang Ternate , Jawa, Batak, Buton dan lain-lain. Memang setiap suku bangsa ini kita masih bisa menemukan kelokalannya sekalipun mereka itu hidup di rantau. Apa itu dari sikap dan tingkah lakunya, maupun dari tradisi yang mereka pertahankan.[1]
 
Lalu bagaimana dengan Banggai. Apakah Banggai mempunyai kearifan lokal? Sebagai sebuah daerah yang dulunya bekas negara berdaulat, kita masih tetap menemukan kelokalan Banggai. Baik itu dari tata cara hidup, bahasa yang dipakai maupun falsafah hidup yang dianutnya. Kita masih bisa menemukan jejak-jejak Banggai tempo dulu yang dapat tersambung dengan Banggai saat ini. Sepintas kilas kitapun langsung dapat menjatuhkan vonis bahwa Banggai mempunyai kearifan lokal. Namun setelah kita telusuri lebih jauh kedalam, ataupun setelah dipaparkan dalam buku ini kitapun harus sepakat bahwa kearifan lokal Banggai itu tidak ada. Artinya Sesuatu yang mencirikan bahwa itu benar Banggai; baik itu dari adat istiadatnya, pola hidup dan cara pandang itu bukanlah kearifan lokal Banggai walaupun itu kita temukan pada masyarakat dan tanah Banggai. Kenapa demikian? Karena baik cara hidup, adat istiadat, pandangan hidup sampai pada agama yang dianut tidak berasal dari kelokalan Banggai. 

Dengan bahasa yang jujur kita harus katakan bahwa Banggai tidak mempunyai kearifan lokal, sebab falsafah hidup yang terbangun sejak abad ke-16 sudah banyak diisi dengan muatan-muatan luar. Sebut saja Adi Cokro/Adi Soko yang dari tanah Jawa diutus oleh Kerajaan Demak untuk membendung Portugis dari Ternate. Falsafah hidup yang terbelah dari 4 (empat) kebasaloan yakni Basalo Sangkap banyak terpengaruh dan berubah drastis setelah kedatangan Adi Soko. Apalagi salah satu misi dari Adi Soko adalah untuk menyebarkan Agama Islam, maka sangat besar ideologi Islam mempengaruhi kearifan lokal tanah Banggai.

Selanjutnya setelah Adi Soko meletakkan dasar-dasar ideologi dan falsafah hidup dengan perpaduan falsafah lokal (tradisi Basalo Sangkap) yang telah ada sebelumnya, maka tradisi kearifan lokal Banggai mencapai puncaknya pada Zaman Maulana Prins Mandapar. Karena disamping Mandapar telah berhasil meletakkan dasar-dasar pemerintahan modern yang adil bijaksana dan demokratis, Prins Mandapar telah berhasil memperkaya kearifan lokal Banggai dengan budaya-budaya besar lain di nusantara. Sebut saja Tengku Hasan Alam, yang lebih dikenal di Banggai dengan “Kakai Tanduwalang” adalah seorang ulama besar dari Aceh yang diangkat oleh Mandapar sebagai Sekretaris Kerajaan. Begitupun pejabat-pejabat kerajaan lainnya, ada yang berasal dari Ternate , Bugis, Jawa, Buton dan lain-lain. Para pejabat Kerajaan Banggai yang berasal dari berbagai wilayah nusantara ini membawa karaktek dasar dan kearifan lokal daerahnya masing-masing yang kesemuanya itu dipadukan menjadi satu dan dipautkan dengan karakter lokal Mian Banggai yang santun dan jujur, maka terbentuklah kearifan nusantara tanah Banggai.

Jadi kearifan lokal yang ada di Banggai adalah perpaduan dari berbagai kearifan lokal nusantara (Indonesia) sehingga kita tidak dapat menemukan kearifan lokal, karena kelokalannya terdiri dari berbagai kearifan lokal yang berpadu seperti kearifan tanah Jawa, Aceh, Bima, Ternate, Bugis, Buton, Gorontalo dan lain-lain. Artinya kalau mau jujur, karakter dan identitas Indonesia sudah terbentuk sejak abad ke-16 di Tano Bolukan (Banggai). Karenanya jika hari ini Indonesia banyak mengalami krisis, baik krisis identitas, krisis ,kepercayaan dan krisis-krisis lainnya maka kita harus kembali dan mengacu pada Tano Bolukan (Tanah Untuk Meluruskan). Karena disanalah tempat berpadunya seluruh karakter dan kearifan lokal nusantara yang terpelihara sekian abad lamanya dengan alam Tano Bolukan (Banggai) yang subur, ramah dan bersahabat.


[1]   Goedhart, Drie landschappen, hal.472 – 473.

No comments:

Post a Comment